Hidayat Kampai: Izin Impor di Tengah Surplus Berujung Jeratan Hukum

    Hidayat Kampai: Izin Impor di Tengah Surplus Berujung Jeratan Hukum

    HUKUM-Melihat kasus ini dari luar, kita mungkin bertanya-tanya, “Kenapa hanya Tom Lembong yang jadi tersangka?” Padahal, kalau menelusuri jejak impor gula sejak 2015, volumenya terus naik bahkan setelah masa jabatannya selesai. Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS), saat Tom Lembong masih menjabat sebagai Menteri Perdagangan pada 2015-2016, volume impor gula berkisar antara 3-4 juta ton. Namun, angkanya justru merangkak naik ke kisaran 5-6 juta ton di era Mendag berikutnya, mulai dari Enggartiasto Lukita, Agus Suparmanto, Muhammad Lutfi, hingga Zulkifli Hasan alias Zulhas.

    Lalu, pada Oktober 2024, Tom Lembong pun ditetapkan sebagai tersangka atas kasus ini, diduga karena memberikan izin impor yang diduga menyalahi aturan ketika stok gula domestik masih surplus. Kebijakan yang semula dianggap “strategis” ini kini malah membuat Lembong dihadapkan dengan Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 3 UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Dengan ancaman pidana yang tidak ringan, Tom Lembong harus menjelaskan lebih lanjut, apakah kebijakannya benar-benar menguntungkan atau justru merugikan negara.

    Bagi publik, kasus ini juga membuka diskusi terkait penerapan hukum pada kasus korupsi. Berdasarkan UU No. 31 Tahun 1999 yang diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001, Pasal 2 ayat (1) mengatur hukuman minimal 4 tahun penjara bagi kerugian negara di atas Rp 100 juta. Batas ini kemudian dinaikkan menjadi Rp 200 juta oleh Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 7 Tahun 2012 dan SEMA No. 3 Tahun 2018. Selain itu, Mahkamah Konstitusi (MK) lewat Putusan No. 25/PUU-XIV/2016 mengubah aturan ini dari delik formil menjadi delik materiil. Dengan demikian, pihak berwenang harus bisa membuktikan adanya kerugian nyata, bukan sekadar potensi kerugian, agar dakwaan korupsi bisa dijatuhkan.

    Perubahan dari delik formil ke delik materiil ini menjadi krusial bagi Lembong. Artinya, tanpa bukti kerugian negara yang konkret, dakwaan korupsi sulit dibuktikan. Lantas, mengapa hanya Tom Lembong yang diperiksa dalam kasus ini? Jika kebijakan impor gula terus berlanjut dengan volume yang terus meningkat, mengapa tidak ada pemeriksaan lebih lanjut pada pejabat lain setelah Lembong? Apakah ini hanya kebetulan, atau ada faktor lain yang membuatnya seolah jadi satu-satunya pihak yang disorot?

    Sebagai rakyat, tentu kita menginginkan keadilan. Apakah ada peninjauan kebijakan yang lebih mendalam pada kebijakan impor selama beberapa tahun terakhir, dan bagaimana pengaruhnya terhadap harga gula dalam negeri? Ataukah, mungkin ada masalah struktural yang membuat kebijakan impor ini sulit dihentikan terlepas dari siapa pun yang menjabat? Dalam kasus ini, kita tidak hanya menunggu keputusan pengadilan, tetapi juga pertanggungjawaban menyeluruh terhadap kebijakan impor yang telah berdampak pada perekonomian nasional.

    Bandar Lampung, 6 November 2024
    Hidayat Kampai

    hidayat kampai impor gula
    Dr. Hidayatullah

    Dr. Hidayatullah

    Artikel Sebelumnya

    Hidayat Kampai: Apple Minta Tax Holiday...

    Artikel Berikutnya

    Hidayat Kampai: Dilema di Balik Gaji Dosen,...

    Komentar

    Berita terkait

    Rekomendasi

    Workshop AI untuk UMKM: Optimalisasi Promosi dan Pemasaran dengan Teknologi Kecerdasan Buatan
    Hidayat Kampai: Dilema di Balik Gaji Dosen, Antara Kesejahteraan dan Komitmen Profesional.
    Hidayat Kampai: Izin Impor di Tengah Surplus Berujung Jeratan Hukum
    Hidayat Kampai: Apple Minta Tax Holiday 50 Tahun? Saatnya Indonesia Bersikap!
    Hidayat Kampai: Pilkada,Cermin Kualitas Masyarakat atau Ajang Riuh Tanpa Isi?

    Tags