PENDIDIKAN-Sebagai dosen, bimbingan tugas akhir—baik skripsi, tesis, maupun disertasi—mungkin sudah menjadi kewajiban. Kita tahu, bimbingan adalah proses pemberian bantuan dan arahan, sebuah tanggung jawab mulia yang diamanahkan kepada kita sebagai pengajar. Namun, apakah bimbingan itu sekadar kewajiban? Atau lebih dari itu, panggilan untuk membentuk generasi akademisi yang bukan hanya kompeten, tetapi juga berdaya dan termotivasi?
Di ruang bimbingan, ada banyak cerita yang tidak tercatat dalam lembar skripsi atau tesis. Ada mahasiswa yang tersendat bukan karena kemalasan, tapi karena kebingungan yang menyesakkan. Mereka datang mencari panduan, berharap arahan yang jelas, dan dukungan yang menguatkan. Di sinilah seharusnya kita hadir dengan penuh pengertian, mempercepat dan mempermudah perjalanan mereka menuju kelulusan. Seandainya ada keterlambatan, biarlah hal itu disebabkan oleh kesiapan mereka yang belum cukup, bukan karena kita yang sibuk atau kurang berempati.
Bayangkan jika setiap bimbingan yang kita berikan malah menumbuhkan rasa takut, putus asa, atau bahkan trauma. Betapa tidak eloknya bila mahasiswa keluar dari ruang bimbingan dengan perasaan kecewa atau, lebih parah lagi, merasa tidak mampu. Padahal, apa susahnya untuk memberi semangat atau kata-kata yang membangun?
Sebagian dari kita mungkin pernah melewati masa-masa sulit dalam bimbingan, masa ketika komentar tajam dari pembimbing membuat kita merasa tak berharga. Namun, apakah pengalaman pahit itu harus diturunkan? Apakah benar kita perlu berkata, “Kalian sekarang enak, zaman saya dulu bimbingan sampai nangis!” Sejenak kita mungkin merasa menang, tapi apa manfaatnya untuk mereka? Jadilah pembimbing yang dirindukan, bukan yang dibenci.
Mari kita kenang, suatu hari nanti, mahasiswa-mahasiswa kita akan mengingat kita. Apakah mereka akan mengenang kita sebagai dosen yang feodal, sok tahu, dan tak pernah punya waktu? Atau sebagai pembimbing yang dengan sabar membimbing, mengarahkan dengan bijaksana, dan menyalakan api semangat mereka ketika redup?
Semoga kita, para dosen, menjadi sosok yang dikenang sebagai motivator, bukan penyebab rendahnya motivasi. Biarlah cerita yang tertinggal adalah cerita baik tentang sosok dosen yang penuh perhatian dan membimbing dengan hati. Jangan sampai jejak yang kita tinggalkan menjadi cerita tentang pembimbing yang zalim dan menghakimi.
Jadilah pembimbing yang diingat baik, bukan hanya oleh angka kelulusan, tetapi oleh senyum dan syukur para mahasiswa yang merasa didukung dan diperjuangkan.
Jakarta, 13 November 2024
Hidayat Kampai
Catatan Seorang Murid