Ambisi Sang Raja dan Hutan yang Hilang

    Ambisi Sang Raja dan Hutan yang Hilang

    Di sebuah kerajaan yang makmur dan subur, hiduplah seorang raja yang terkenal dengan ambisi besar dan hasratnya untuk membangun sesuatu yang megah. Raja tersebut, yang memiliki kekuasaan absolut, ingin meninggalkan warisan yang tak terlupakan bagi keturunannya dan seluruh rakyatnya. Ia bertekad untuk membangun sebuah istana yang tiada tandingannya, bukan di tengah kota, melainkan di tengah hutan belantara yang masih perawan dan belum tersentuh oleh tangan manusia. Hutan ini terletak di wilayah terpencil yang terkenal dengan keindahannya, keragaman hayatinya, dan sungai-sungai yang mengalir jernih.

    Raja memilih hutan ini karena ia percaya bahwa membangun istana di sana akan menjadi simbol kekuasaannya atas alam dan menunjukkan bahwa tidak ada yang mustahil baginya. Ia memerintahkan ribuan pekerja untuk memulai pembangunan, membawa bahan-bahan bangunan terbaik, dan menebang ribuan pohon yang telah berdiri selama ratusan tahun. Hutan yang dulunya penuh kehidupan kini dipenuhi suara gergaji, kapak, dan alat-alat berat.

    Semakin dalam para pekerja masuk ke dalam hutan, semakin banyak satwa liar yang terusir dari habitat mereka. Sungai-sungai yang dulunya jernih mulai tercemar oleh limbah pembangunan, dan tanah yang subur berubah menjadi gundukan debu dan batu. Burung-burung yang dulunya berkicau riang kini hilang, menggantikan suasana yang dulu tenang dengan keheningan yang mencekam.

    Namun, raja tidak peduli dengan kerusakan yang ditimbulkan. Ia hanya fokus pada ambisinya untuk membangun istana yang megah. Tahun demi tahun berlalu, dan istana raja yang dibangun di tengah hutan belantara itu akhirnya selesai. Istana itu memang megah, dengan dinding berlapis emas, menara yang menjulang tinggi, dan taman-taman yang indah. Namun, hutan di sekitarnya telah musnah, berubah menjadi lahan gersang yang tak lagi memiliki kehidupan.

    Ketika raja berdiri di balkon istananya yang megah, ia merasakan kepuasan sesaat atas pencapaiannya. Namun, lama-kelamaan, ia mulai merasakan kehampaan. Keindahan istana yang dibangunnya tidak dapat mengembalikan hutan yang hilang, dan suasana di sekeliling istana menjadi sunyi dan mencekam. Rakyatnya yang dahulu mencintai hutan itu kini mulai berbisik-bisik, membicarakan keserakahan sang raja yang telah merusak anugerah alam yang diberikan oleh para leluhur mereka.

    Seiring berjalannya waktu, dampak dari pembangunan istana itu mulai dirasakan oleh seluruh kerajaan. Tanpa hutan yang menahan air hujan, banjir mulai melanda wilayah-wilayah sekitar. Tanah longsor menjadi ancaman, dan panen di ladang-ladang semakin berkurang. Rakyat yang dahulu makmur kini mulai menderita, dan kepercayaan mereka kepada raja perlahan memudar.

    Raja yang dulunya berkuasa dengan tangan besi kini merasakan penyesalan yang mendalam. Ia menyadari bahwa ambisinya yang berlebihan telah menghancurkan keseimbangan alam dan kehidupan rakyatnya. Namun, penyesalan itu datang terlambat. Hutan yang hilang tidak bisa dikembalikan, dan kerusakan yang telah terjadi membutuhkan waktu yang sangat lama untuk diperbaiki, jika masih bisa diperbaiki.

    Istana megah yang dulu dibanggakan oleh sang raja kini berdiri sendiri di tengah kesunyian, menjadi simbol kehancuran dan keserakahan manusia yang mengabaikan kelestarian alam. Sang raja, yang dulunya dikenal sebagai pemimpin yang kuat, kini dikenang sebagai penguasa yang merusak apa yang seharusnya dijaga dan dilestarikan. Kisahnya menjadi peringatan bagi generasi-generasi berikutnya bahwa kekuasaan dan ambisi harus disertai dengan kebijaksanaan, terutama dalam menjaga keseimbangan alam yang menjadi sumber kehidupan.

    hidayatullah raja ambisi
    Dr. Hidayatullah

    Dr. Hidayatullah

    Artikel Sebelumnya

    Politik Dinasti dan Politik Kotak Kosong...

    Artikel Berikutnya

    Ambisi Tanpa Batas: Nafsu Politik yang Menggelora

    Komentar

    Berita terkait

    Rekomendasi

    Workshop AI untuk UMKM: Optimalisasi Promosi dan Pemasaran dengan Teknologi Kecerdasan Buatan
    Hidayat Kampai: Dilema di Balik Gaji Dosen, Antara Kesejahteraan dan Komitmen Profesional.
    Hidayat Kampai: Izin Impor di Tengah Surplus Berujung Jeratan Hukum
    Hidayat Kampai: Apple Minta Tax Holiday 50 Tahun? Saatnya Indonesia Bersikap!
    Hidayat Kampai: Pilkada,Cermin Kualitas Masyarakat atau Ajang Riuh Tanpa Isi?

    Tags