PENDIDIKAN - Berbicara soal tugas akhir mahasiswa, skripsi kerap menjadi momok bagi banyak orang. Dari generasi ke generasi, skripsi dianggap sebagai jalan terjal yang harus dilalui untuk meraih gelar sarjana. Namun, saat ini, pertanyaan yang perlu kita ajukan adalah apakah skripsi benar-benar masih relevan sebagai satu-satunya syarat kelulusan? Mengingat dinamika dunia akademik yang terus berkembang, mungkin jawaban yang lebih tepat adalah "tidak."
Sebenarnya, jika tujuan utama dari tugas akhir adalah untuk melatih mahasiswa meneliti, bukankah paper ilmiah terpublikasi bisa menjadi alternatif yang lebih efektif? Bayangkan, mahasiswa bukan hanya sekadar menyelesaikan tugas demi syarat kelulusan, tetapi juga memiliki karya yang bisa dibaca dan diapresiasi oleh publik. Di beberapa kampus, skripsi memang sudah mulai digantikan oleh paper ilmiah yang harus diterbitkan. Hal ini tentu membawa angin segar, memberikan mahasiswa kebanggaan atas karya ilmiah yang berpotensi memberi dampak bagi masyarakat luas.
Namun, ada catatan penting di sini, proses ini tidak bisa berjalan tanpa pendampingan yang ketat dari seorang dosen. Publikasi ilmiah memiliki standar dan proses yang jauh lebih menantang. Oleh karena itu, jika ingin menjadikannya sebagai tugas akhir, maka peran dosen pembimbing menjadi krusial—tak hanya sebagai pengawas, tetapi juga sebagai mentor yang benar-benar mendorong dan membimbing mahasiswa untuk menghasilkan karya yang berkualitas.
Bayangkan masa depan pendidikan tinggi di Indonesia, di mana mahasiswa sarjana tidak hanya berfokus pada skripsi yang sering kali hanya berakhir di perpustakaan kampus. Sebaliknya, karya-karya mereka bisa terpublikasi di jurnal ilmiah, membuka pintu diskusi dan peluang yang lebih luas. Dengan demikian, tugas akhir bukan sekadar rutinitas akademik, tetapi sebuah kontribusi nyata bagi masyarakat dan dunia keilmuan.
Jakarta, 15 November 2024
Hidayat Kampai
Sang Murid