WIRAUSAHA-Di sebuah pelatihan untuk pelaku UMKM di Metro, saya sedang memasuki sesi tanya jawab. Salah satu peserta yang tampak antusias adalah seorang pemuda Gen Z. Dengan penuh semangat, ia angkat bicara dan bertanya tentang brand yang sedang ia bangun. "Nama brand-nya apa?" tanya saya, penasaran.
Ia menjawab dengan sedikit malu, "Namanya BABAPAKKAU KEMEK, Pak."
Saya sedikit tertegun. "Apa produknya?" lanjut saya, sambil menahan tawa yang nyaris keluar.
"Kalau mau lihat, bisa di IG saya, Pak." Pemuda itu mengusap tengkuknya. Saya hampir saja ingin langsung menampilkan halaman Instagramnya di layar proyektor. Tapi hati kecil saya menahan; entah kenapa, firasat saya mengatakan ini ada yang tidak beres. Akhirnya, saya mengintip saja dari layar HP, memastikan agar tidak mengundang gelak tawa di ruangan.
Benar saja, di sana tertulis sub-brand-nya: Kopi KOMTOL alias "Kopi Mantap Betol." Saya menahan napas—tampaknya sang pemuda memang berani bermain di ranah yang "out of the box." Namun, setelah mencerna lebih dalam, saya mulai khawatir, bukankah brand adalah wajah pertama yang ditunjukkan kepada konsumen?
Saya tersenyum dan berkata kepadanya, "Kamu anak Gen Z yang punya pola pikir terbuka dan kreatif—bagus sekali! Saya sudah sering melihat ide-ide yang nyeleneh dari anak-anak muda, dan kadang bisa sangat inspiratif. Namun, ingat, kalau bicara tentang membangun sebuah brand, viralitas yang mengejutkan itu belum tentu awet."
Saya lanjut berbicara dengan nada lebih serius. "Brand besar seperti Kopi Janji Jiwa atau Kopi Kenangan memiliki nama yang mengundang penasaran tapi tetap sopan, nyaman diucapkan, dan punya kesan mendalam. Nama mereka dirancang agar bisa melekat, mudah diingat, dan—poin penting—konsumen tidak malu menyebutnya di depan umum. Membuat nama produk yang menyerempet ke arah 'bahasa nyeleneh' mungkin memang cepat viral, tapi apakah konsumen akan bangga menyebutnya? Bayangkan kalau teman-temanmu ingin berbagi pengalaman tentang kopi ini, atau bahkan sekadar menanyakan produknya—akankah mereka nyaman?"
Ia tampak berpikir, mungkin menimbang kata-kata saya. Sebagai seseorang yang sudah bertemu ratusan brand UMKM, saya tahu terlalu banyak yang tersandung masalah branding. Usaha yang menjual produk dengan nama terlalu kontroversial memang bisa cepat naik, tapi biasanya tenggelam dengan cepat pula. "Membangun brand itu tidak hanya soal bikin orang tertawa, tapi bikin orang ingat dan mau menyebut nama produkmu dengan bangga, " tambah saya.
Semoga ke depannya, teman-teman UMKM muda kita bisa lebih bijak dalam memilih nama, tidak hanya sekadar mengejar viralitas, tetapi juga memikirkan kebanggaan yang timbul saat menyebut nama brand itu sendiri. Karena pada akhirnya, bisnis yang berumur panjang adalah bisnis yang nama brand-nya bisa melekat indah di hati konsumen tanpa menyisakan rasa canggung atau malu.
Jakarta, 15 November 2024
Hidayat Kampai
Penggerak UMKM