Nafsu politik di Indonesia seringkali disandingkan dengan nafsu yang tak terkendali, seperti gairah seorang anak muda terhadap seorang janda muda yang mempesona. Bagi banyak politisi, kekuasaan adalah sesuatu yang sangat diidamkan, bahkan jika mereka tidak memiliki kemampuan atau sumber daya yang memadai untuk meraihnya. Ambisi ini begitu kuat sehingga mereka rela menghalalkan segala cara untuk mendapatkan kekuasaan, tanpa memikirkan dampaknya terhadap rakyat atau negara.
Dalam upaya mengejar kekuasaan, para politisi sering berdalih bahwa mereka ingin mengabdi kepada masyarakat. Mereka menawarkan janji-janji manis tentang perubahan dan pembangunan yang akan mereka bawa. Namun, kenyataannya seringkali berbanding terbalik. Banyak proyek yang mereka gagas hanya menjadi prasasti kosong—simbol ambisi pribadi yang mangkrak dan tidak pernah mencapai tujuan yang dijanjikan. Pengabdian yang mereka klaim seringkali hanyalah kedok untuk menutupi ambisi pribadi yang lebih besar.
Politisi yang bernafsu seringkali merasa diri mereka populer dan dicintai oleh rakyat. Mereka menganggap bahwa kekuasaan yang mereka raih adalah bukti dari dukungan luas. Namun, popularitas ini seringkali bersifat sementara. Begitu janji-janji mereka tidak terpenuhi dan proyek-proyek mereka terbengkalai, dukungan rakyat pun mulai surut. Banyak politisi yang hanya mampu bertahan dalam satu putaran kekuasaan, karena rakyat segera menyadari bahwa janji-janji yang mereka sampaikan hanyalah ilusi belaka.
Dari fenomena ini, terdapat pelajaran penting yang dapat diambil. Politik bukanlah arena untuk memuaskan ambisi pribadi atau nafsu kekuasaan. Sebaliknya, politik seharusnya menjadi wadah untuk mengabdi dengan tulus dan membawa perubahan positif bagi masyarakat. Politisi yang hanya mengejar kekuasaan tanpa memperhatikan tanggung jawabnya akan segera ditinggalkan oleh rakyat. Maka, sangat penting bagi politisi untuk memahami bahwa kekuasaan yang sejati tidak hanya diperoleh dari popularitas semu, tetapi dari pengabdian yang nyata dan berkelanjutan.