BENCANA-Setiap tahun, berita banjir seolah menjadi tamu rutin di layar televisi, media sosial, bahkan obrolan warung kopi. Yang menarik, banjir ini tidak hanya datang lebih sering, tapi juga semakin parah. Tentu saja, setelah air surut, muncul pertanyaan klasik, Apa solusinya? Apa yang dilakukan pemerintah daerah? Tapi, pernahkah kita berpikir bahwa sebenarnya, kepala daerah mungkin sedang berhadapan dengan tangan yang terikat?
Kenapa terikat? Salah satu jawabannya ada di sebuah kata yang mungkin sudah sering kita dengar "Omnibus Law". Setelah undang-undang ini diberlakukan, banyak izin usaha penting, termasuk yang terkait dengan lingkungan, tidak lagi menjadi kewenangan daerah. Semuanya terpusat di pemerintah pusat. Jadi, ketika izin pembukaan lahan besar-besaran untuk perkebunan sawit atau tambang disetujui di meja pusat, pemerintah daerah sering kali hanya bisa gigit jari, apalagi jika dampaknya langsung menghantam wilayah mereka.
Bayangkan sebuah skenario: di sebuah kabupaten kecil, kepala daerah melihat hutan-hutannya mulai gundul. Dia tahu bahwa hutan itu penting untuk menahan air hujan dan mencegah banjir. Tapi, apa daya? Izin untuk membuka hutan itu sudah keluar dari pusat, lengkap dengan cap resmi. Apakah pusat benar-benar mempertimbangkan dampak lingkungan saat memberikan izin itu? Rasanya, pertanyaan ini lebih sering dijawab dengan anggukan skeptis daripada keyakinan penuh.
Kita tidak bisa menutup mata bahwa kerusakan lingkungan adalah akar dari semakin parahnya bencana banjir. Hutan-hutan yang dulunya berfungsi sebagai spons alami untuk menahan air kini berubah menjadi hamparan perkebunan sawit, ladang pertanian, atau bahkan jalan raya. Ironisnya, apa yang dianggap "pembangunan" sering kali justru menjadi bumerang. Ketika hujan deras datang, air yang seharusnya meresap di hutan langsung meluncur ke pemukiman, membawa serta lumpur, puing-puing, dan tangisan warga yang rumahnya terendam.
Baca juga:
Ambisi Sang Raja dan Hutan yang Hilang
|
Lebih miris lagi, kerusakan ini sering kali dikemas dengan alasan "demi ekonomi rakyat." Namun, siapa yang benar-benar menikmati hasilnya? Apakah petani kecil atau masyarakat setempat? Atau justru perusahaan besar yang kantornya jauh di ibu kota? Fakta di lapangan menunjukkan bahwa masyarakat sekitar sering kali hanya menjadi penonton dari eksploitasi sumber daya di wilayah mereka.
Banjir bukan sekadar genangan air yang datang lalu pergi. Ia adalah simbol nyata dari kerusakan lingkungan dan kebijakan yang tidak berpihak pada keberlanjutan. Jika pemerintah pusat tidak mulai mendengarkan suara dari daerah, kita hanya akan terus menyaksikan siklus yang sama, hutan yang habis, banjir yang makin parah, dan masyarakat yang terus dirugikan.
Jadi, apa yang bisa kita lakukan? Tekanan publik adalah kunci. Kita harus lebih kritis terhadap kebijakan yang mengorbankan lingkungan. Kita juga harus mendorong pemerintah pusat untuk lebih transparan dalam pemberian izin usaha, dengan mempertimbangkan masukan dari daerah yang akan merasakan langsung dampaknya.
Pada akhirnya, banjir ini bukan sekadar masalah alam, melainkan masalah manusia. Dan selagi manusia tidak berubah, banjir akan terus datang, makin besar, makin dalam, dan makin menyakitkan.
Jakarta, 19 Januari 2024
Hidayat Kampai